Ketika kita mencintai seseorang, tentu saja kita akan merasa
senang berada disampingnya, tentu saja kita merasa bahagia bersama orang yang
kita cintai. Tapi apa yang terjadi jika sebuah cinta bertepuk sebelah tangan? Jika
sebuah cinta hanya berada pada salah satu pihak saja? Ketika kita tak bisa
menjadi sepasang kalimat “mencintai dan dicintai” yang terdengar begitu sempurna?
Bukanlah perkara mudah untuk mencintai, ketika kita memutuskan untuk mencintai
tentu saja kita akan siap dengan dua kemungkinan dari mencintai. Kemungkinan untuk
mencintai secara nyata, atau mencintai secara diam. Karna mencintai tak pernah
semudah kita menuliskan kalimat sederhana itu, karena mencintai tak pernah
semudah kita melafalkannya, karena mencintai tak semudah seperti yang kita
bayangkan.
Lantas, ketika kita sudah benar-benar mencintai, namun ia
terbendung oleh rasa ego untuk saling memiliki apakah itu layak disebut cinta? Ketika
kita hanya memaksakan hati untuk bahagia, apakah itu pantas disebut cinta? Ketika
kita hanya mencintai tetapi tidak dicintai apakah kita bisa menyempurnakan kata
“mencintai dan dicintai”? tidak.
Lantas, apakah ada cinta yang diawali dengan tergesa-gesa
akan berakhir bahagia? Tidak.
Lantas bagaimana dengan cinta dan sejumlah kepingan rasa
percaya yang mungkin tidak dapat disusun lagi pantas disebut cinta? Tidak.
Ketika pemilik cinta sudah mampu berkomitmen tentu saja dia
akan mengesampingkan egonya, tentu saja ia mampu bersabar menunggu untuk
mencintai dan bersabar menjalani setiap permasalahan yang ada, ketika pemilik
cinta mampu untuk tidak menghancurkan kepercayaan melainkan membuktikan nya
tentu saja ia dapat menyempurnakan sebuah kata sederhana “mencintai dan
dicintai.
Karna mencintai adalah sebuah pilihan,
Dan dicintai adalah sebuah keputusan.
Maka cintailah apa yang menurut mu layak untuk kamu cintai,
Berjuanglah untuk hal yang memang pantas kamu perjuangkan.