Minggu, 17 November 2013

A cup of Chocolate


Entah sudah berapa lama aku menunggu mendung disini. Entah sudah berapa kali jarum jam ini berputar namun kau tetap tidak datang. Aku menikmati mendung, dikota ini untuk pertama kalinya. Aku masih melirik bangku yang ditadinya masih ditempati oleh dua orang anak berumur lima tahun. Mereka melihatku dengan tatapan bahagia, tersenyum seperti pernah mengenalku. Mendatangiku, dan mengajak ku bergabung dengan mereka, menceritakan sebuah dongeng, sambil melepaskan beberapa balon yang mereka beli dari seorang penjual balon. Setelah balon itu dilepaskan, mereka bahagia. Sangat bahagia. Setelah sebelumnya mereka menyelipkan kertas yang berisikan harapan mereka kemudian diikat bersama benang, untuk diterbangkan ke langit bebas, walau langit itu sedang abu-abu. Mereka tak perduli dengan warna langit, yang mereka tahu melihat balon itu terbang bebas melayang dilangit, sudah cukup. Sesekali mereka melambaikan tangan, memberi isyarat selamat tinggal kepada rangkaian balon yang membawa serta harapan mereka terbang. Setelah balon itu tak terlihat sama sekali, mereka tersenyum, hanya tersenyum.

"Terimakasih kak, sudah menemani kami bermain, kami pulang dulu kak" kemudian mereka berpamitan kepadaku yang masih saja terdiam melihat kebahagiaan mereka barusan. Kemudian mereka meninggalkanku dengan dua bungkus permen yang mereka titipkan ditelapak tanganku, dan berlari kecil hingga hilang dari tangkapan mataku. Aku masih terdiam untuk beberapa menit kemudian. Bahagia, memang sangat sederhana.

Aku kembali melirik jam tangan,hari hampir gelap. Mendung hampir pulang digantikan oleh petang, lelaki itu tak kunjung datang. Aku tak berhasil mengamati sekitar, tak berhasil memfokuskan kinerja otakku untuk mengamati ilalang-ilalang yang tertiup angin. Pandangan ku tertuju pada ilalang bergerak kesana kemari. Ilalang itu sederhana, ia hanya mengikuti kemana angin membawanya bergerak. Ilalang itu begitu mempesona. Hari kian petang, mendung mulai bergeser. Lampu-lampu penerang jalan satu persatu sudah hidup. Jam sudah menunjukkan pukul enam, itu artinya sudah hampir dua jam aku menunggu. Aku merapikan jaketku, mengikat rambutku dan meraih tas yang berada disebelahku, melangkahkan kaki untuk kembali pulang.

"Anda....tunggu sebentar". Suara itu menghentikan langkahku yang baru beberapa jengkal meninggalkan bangku yang tadinya ramai itu. Aku menoleh kebelakang, menghentikan langkahku. Seketika aku terdiam, lelaki itu datang! Iya dia datang walau terlambat!

"Dioooon!" aku memeluknya dengan erat. Dion adalah sepupuku yang berjanji menemui ku sejak dua hari setelah kedatanganku kemari. Namun, ia selalu membatalkan janjinya dikarenakan pekerjaannya yang terlalu banyak menyita waktunya.

"Sudah lama?" tanya nya kemudian mengajak ku duduk kembali dibangku itu. Kami mengobrol untuk beberapa menit kedepan kemudian memutuskan untuk pindah kesebuah tempat makan favoritku dulu selama tinggal dikota ini.

**
"Oh iya, dimana istrimu?" tanyaku sambil menyeruput teh hangat yang baru saja diantarkan oleh pelayan. 

"Dia ada apartemen, oh iya dia menanyakan kabarmu, katanya kau harus menemuinya."

"Menemuinya? Memangnya ada apa? Bukankah ia sedang sibuk menyiapkan segala perlengkapan untuk kelahiran anak pertama kalian?"

"Mungkin... ia butuh teman untuk berbelanja, aku harap kau besok bisa menemuinya dan pergi bersamanya karena aku harus mengurusi pekerjaan keluarga kita". 

"Baiklaah..kalau itu perintahmu dan aku memang tidak sedang sibuk besok pukul delapan aku akan berkunjung kesana, bagaimana?"

"Baiklaaah, oh iya bagaimana kabar Tante Anne dan Om Hendrik disana? Aku dengar kemarin Tante sakit?"

"Mama memang sempat masuk rumah sakit sebelum aku berangkat kesini, tapi sekarang mama sudah kembali pulih lagi."

"Ndaaa...ada yg ingin kutanyakan..."

"Ada apa?"

"Bagaimana dengan rencaana pernikahanmu?" Bukankah kau akan melangsungkannya tahun depan?"

"Sudahlah, aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu. Aku tidak punya harapan apa-apalagi".

"Ada apa memangnya bukannya urusan mu hampir selesai? Undangan sudah jadikaan?"

Aku menggeleng, enggan mengeluarkan sepatah kata apapun. Hanya sisa tusukan yang kurasakan, nafsu makan ku berhenti seketika. Tak ada lagi keinginan untuk berkata apa-apa.

"Baiklah jika kau tidak mau menjawab, aku tidak akan memaksa."

Seakan rasa bersalah menghantuiku lagi, bukan rasa bersalah tepatnya rasa ingin marah, kesal sekaligus kecewa yang hanya berkecamuk dihati saat ini. Aku menghentikan sandiwara topeng kali ini, aku ingin marah, ingin menangis bahkan ingin memberontak sejadi-jadinya. Hati ini sudah cukup lelah. Aku memutuskan untuk pamit.

Aku berjalan menuju arah pulang, tanpa ada lagi bahagia.


*bersambung*





 

Anindyamalini Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template