Aku tak pernah lupa bagaimana kejadian itu terjadi, ia begitu cepat pergi dan cerita kami usai.
Percakapan tadi baru saja membuka buku lama yang sudah seharusnya aku tutup rapat-rapat. Sudah seharusnya aku berhenti membicarakan dia, dia yang menghancurkan mimpi yang sudah aku rancang sedemikian rapi, menghancurkan harapan yang sudah aku susun baik-baik. Semua hancur begitu saja, nyaris hanya meninggalkan sebuah luka, kenangan dan tentunya pelajaran yang sangat mendalam untuk diriku sendiri.
Dion, lelaki yang juga sepupu ku sendiri itu baru saja menyentuh luka yang hampir sembuh, ia baru saja mengingatkanku pada sosok Deo, lelaki yang seharusnya saat ini menjadi suamiku.
Angin malam begitu menusuk, kuat hingga aku tak mampu berlama-lama berada diluar apartemen. Dengan diiringi lampu jalan dan langkah yang terbata-bata aku berjalan hingga pada akhirnya sampai didepan pintu apartemen ku. Gagang pintu itu terlalu dingin, tangan ku sendiri terasa kaku untuk membuka pintunya, mungkin pengaruh udara dan pendingin ruangan yang sedang berkolaborasi malam itu. Perlahan, seperti membunuhku.
Setelah pintu terbuka, aku menghidupkan sakelar lampu yang berada di sisi kanan dinding setelah pintu. Tampak ruangan berwarna coklat berdesain klasik eropa ini begitu menenangkanku. Aku melirik jam dinding, sudah pukul 22:00 malam, itu artinya aku menghabiskan separuh waktuku diluar. Aku mengecek handphoneku, menghubungi mama semalam ini untuk memastikan apakah mama baik-baik saja.
"Hallo, rahajeng wengi mah, mamah sudah tidur?" tanyaku ketika deringan ketiga diangkat mama.
"Rahajeng wengi juga sayang, mama belum tidur" terdengar suara lembut dari ujung sana yang begitu menenangkan. Ya, mendengar suara mama yang sepertinya baik-baik saja sudah cukup menenangkan ku, apalagi jika aku bisa bersandar dipundak mama untuk saat ini.
"Kenapa mama belum tidur, ini sudah malam"
"Mama hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja disana, kamu baik-baik saja kan nak?"
"Andah baik-baik saja mah disini, mama jaga kesehatan ya...andah sayang mama".
"Mama juga sayang Andah, yasudah mama istirahat dulu ya rahajeng wengi"
"Rahajeng wengi juga mah" Aku mengakhiri telpon malam itu. Suasana hatiku menjadi tenang kembali saat tau bahwa mama baik-baik saja.
**
Kembali kepada pemikiran ku sebelum sampai diapartemen. Deo...bagaimana kabarnya sekarang? Dimana dia? Aku benar-benar ingin bertemu dengannya, memastikan apakah dia jadi menikahi wanita pilihan mamanya.
Rasa penasaran semacam ini yang terkadang membunuh diriku sendiri. Berusaha mencari tau kesana kemari, namun terkadang usaha ku sia-sia.
Aku berdiri membuka jendela besar disebelah kiri tempat tidurku, memandangi kota ini saat malam. Pemandangan seperti lampu-lampu, rumah penduduk, dan jalanan begitu indah saat malam apalagi jika dilihat dari ketinggian. Ya, aku sangat menyukai pemandangan kota pada malam hari.
Tiba-tiba terlintas di pikiranku, bagaimana jika pada akhirnya aku dan Deo bertemu disini? Bagaimana jika kami..........Denting jarum jam menandakan pukul 23:00, dan aku tersadar sudah hampir larut malam dan aku hanya menghabiskan waktuku begitu saja. Aku beranjak tidur, berharap esok pagi akan menjadi lebih baik.
**
Jam berdetak begitu kencang, pukul 07:00 pagi aku terbangun dari tidur yang lumayan panjang. Memandangi sekitar, ini pagi pertamaku dikota ini. Aku berjejak menurunkan langkah kakiku untuk membuka jendela, pagi ini cukup cerah untuk kembali beraktifitas dikota ini lagi. Dan aku akan pergi ke apartement dimana Dion dan istrinya menetap.
**
Pukul 09:00 aku sudah sampai disana, dengan penuh semringah aku dan istri dari sepupuku berbicara, mulai dari masa pernikahan mereka, hingga saat ini dimana Siska tinggal menghitung hari untuk melahirkan. Dan ya, aku punya keponakan baru, itu sebabnya aku ingin tinggal dikota ini. Percakapan kecil kami berujung pada sebuah pertanyaan, pertanyaan yang sudah aku duga sebelumnya.
"Andah, mengapa tiba-tiba semuanya batal" dengan perlahan dan masih tetap menjaga perasaan ku Siska mengeluarkan pertanyaannya.
"Ia sudah memilih wanita lain" kali ini aku berusaha meyakinkan hati dan diriku bahwa aku sanggup mengatakan yang sebenarnya.
"Bagaimana bisa?"
"Lain kali, aku akan menceritakan ini padamu" aku menata hati yang kemudian saja hancur ketika harus mengingat kejadian itu.
"Baiklah, jika itu mau mu, bagaimana kalau kita berangkat sekarang saja?"
"Itu lebih baik" aku menyeruput teh terakhir dan bergegas pergi.
**
"Siska ini bagus, mau coba lihat?" aku mengandeng Siska menuju box bayi berwarna coklat.
"Bagus, Andah sepertinya kamu sudah cocok menjadi ibu rumah tangga" ia menggoda ku sambil memilah box yang aku sarankan tadi.
"Bagaimana? Jadi beli?"
"Boleh..ini sudah pas" ia kemudian menemui petugas untuk memesan box bayi berwarna coklat tadi.
Aku mengelilingi toko bayi ini, memilah milah kemudian ingatanku kembali melayang... "Andai saja pernikahan itu tidak batal...mungkin saat ini.."
"Andah?" suara yang sudah tidak asing lagi mendarat dihadapanku.
Aku membalikan badan...kemudian...rasanya sulit percaya bahwa yang baru saja memanggilku adalah..Deo.
*bersambung ke part 3*